Selasa, 30 Maret 2010

Pangeran Bersarung




Jika dalam era 80-an maupun 90-an, para santri mengekspresikan karyanya dalam bentuk puisi, esai, kolom maupun artikel di media massa. Maka era 2000-an ke atas menjadi penanda bahwa karya tulis para santri lebih luas jangkauannya, termasuk merambah domain novel sastra populer. Hingga saat ini pesantren yang oleh Gus Dur disebut sebagai sub-kultur (oleh sebab memiliki tradisi dan pola kehidupan sendiri), tampak belum secara optimal diolah dalam bentuk karya (sastra) yang ditulis oleh para santri. Padahal, jika boleh diibaratkan kekayaan tradisi pesantren merupakan sebuah tambang emas yang menunggu tangan-tangan kreatif untuk mengeksplorasi secara optimal segala isinya dalam bentuk tulisan.

Maka, tidak mengherankan jika kemudian generasi yang lahir dan dibesarkan pesantren berusaha membedah pesantren melalui karyanya, termasuk dalam bentuk novel. Dengan format novel sastra populer, karya penulis muda yang semuanya pernah dididik di pondok pesantren, semisal Sachree M.Daroini, Syarifuddin, Ma’rifatun Baroroh, S.Tiny, Pijer Lestari, Zaki Zarung, Azizah Hefny, hingga Mahbub Jamaluddin banyak menghiasi dunia novel pop pada dekade ini. Ekspolrasi tradisi dan kehidupan “masyarakat pesantren” oleh internal pesantren sendiri merupakan sebuah keniscayaan yang patut diapresiasi, sebab merekalah yang selama ini berproses dan berdialektika langsung dengan lingkungannya..

Di dalam karyanya, mereka mencoba melihat dan menulis tentang kehidupan “masyarakat” pesantren dengan kacamata mereka sendiri. Dari kisah cinta di balik bilik pesantren, kenakalan para gus (putera kiai), kekonyolan dan kenorakan santri, hingga ketatnya kehidupan di pondok, semuanya dipaparkan secara gamblang dan apa adanya. Maka tak heran jika kemudian karya mereka bercorak “santri banget”, sebab para penulisnya memang mengalami dan melebur dengan kisah yang mereka angkat dalam karyanya.

Dalam Pangeran Bersarung, Mahbub Jamaluddin memilih mengangkat kehidupan seorang santri yang memiliki obsesi menjadi “santri sejati”. Dengan bahasa nge-pop tapi serius, dan penyampaian kocak yang diselingi dengan istilah khas pesantren, Mahbub seolah berusaha mengajak para pembaca agar menyelami kehidupan para santri secara apa adanya. Setidaknya ia menguatkan kesan welcome kepada pembaca yang belum pernah bersentuhan secara akrab dengan dunia santri untuk lebih memahami dan menyelami kehidupan pesantren. Kesan ini berbalik menjadi pesan bernosatalgia dengan pembaca yang sudah akrab dengan dunia santri.

Secara garis besar, novel ini memang menyiratkan kesan bahwa “santri juga manusia” yang membutuhkan support sebuah kisah cinta dalam menggapai cita-citanya. Pujiono, tokoh sentral dalam novel ini, digambarkan secara utuh oleh Mahbub sebagai sosok santri yang pemalu, cerdas, namun terkadang konyol. Obsesinya untuk menjadi “santri sejati” harus mengalami sebuah tantangan berat, sebab ia terlanjur jatuh cinta dengan teman sekelasnya di sekolah, Sofi. Dikatakan sebuah tantangan berat, karena dalam kehidupan santri menjalin hubungan dengan lawan jenis adalah tabu, bahkan terlarang. Problem semacam inilah yang oleh Mahbub berusaha dikupas secara mendalam, terutama di sisi psikologis Pujiono.

Pujiono kemudian dibiarkan “hidup” oleh Mahbub dengan ambiguitas dirinya. Di satu sisi Puji berusaha mencintai Sofi, meski secara diam-diam, di sisi lainnya ia malu dan takut untuk mengungkapkannya. Lalu tokoh ini oleh Mahbub digambarkan sedemikan rupa bagaimana ia berusaha menahan cintanya dan menghindari Sofi sebisanya, bahkan kemudian Puji bertekad memupuskan cintanya. Satu pertanyaan besar kemudian menggantung di benak Puji, apakah Sofi juga memendam perasaan yang sama seperti dirinya.

Pakem kisah cinta yang terbangun dalam novel ini terasa klise, hingga kemudian Mahbub “menambahkan” Puspa, sahabat Sofi yang akhirnya memiliki porsi lebih banyak dalam mempengaruhi kehidupan Puji. Dengan penggambaran sosok yang ekstrovert, funky, gaul, dan modis, sosok Puspa begitu hidup. Hingga akhirnya sosok yang oleh teman-temannya sendiri dianggap sebagai sosok yang jutek namun baik hati ini tersergap perasaan aneh ketika ia berkoalisi dengan Sofi dan Sawitri, sahabat dekatnya saat ngerjain Puji. Perasaan aneh yang menggetarkan hati Puspa itu adalah jatuh cinta (hal 258).

Saat tersergap perasaan jatuh cinta pada Pujiono inilah, Puspa harus menghadapi dilemma yang memperk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar